"Lakukan yang terbaik,kini dan nanti"

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sekilas tentang Pers Riau dan Pornografi (Mini Research by Darulhuda)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
                Pers dalam pengertian yang luas bermakna seluruh alat komunikasi , massa    seperti radio, televisi, suratkabar, majalah dan lain sebagainya. Tetapi dalam pengertian sempit, pers dimaknai sebagai suratkabar dan majalah.[1] Pengertian pers dalam makna sempit inilah yang dimaksud dalam makalah ini.               
                Peran pers di tengah masyarakat sangat penting. Pers berperan sebagai media informasi, media komunikasi, media  kontrol sosial, sekaligus media pembentukan opini bagi masyarakat. Indonesia menempatkan fungsi pers sebagai      media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.[2]
             Filsuf John Stuart Mill menegaskan penghormatannya terhadap kebebasan pers dengan ungkapan:
”Membungkam sebuah opini berarti kita membungkam kebenaran, bahkan  dapat melahirkan dampak menurunnya kualitas tingkah laku dan karakter umat manusia.”[3]
Tindakan memberangus media dinilai bertentangan dengan demokrasi. Bahkan Alberto Ganza Paz mengemukakan bahwa memberangus media adalah tindakan pertama rezim diktator, seperti ungkapannya berikut;
The first act of any dictatorship is to suppress of information, if they can’t make a frontal attact against the press, they try by indicious ways to capture and restrict that freedom of information… The only way           to oppose these evil defense  should not be confined to newspapermen only.. the people. The public  must realize that it is a matter of vital importance for them.” [4]
Negara-negara di dunia mengakui kebebasan pers sebagai hak asasi manusia.     Hal ini terlihat dari pengakuan 48 negara anggota PBB yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. PBB yang ketika itu beranggotakan 58 negara, dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia menempatkan kebebasan pers dalam Pasal 19, yang berbunyi sebagai berikut:
      Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”[5]
            Dengan pengakuan terhadap kebebasan pers, maka setiap tanggal 3 Mei insan pers internasional memperingati hari kebebasan pers se dunia. Di negara-negara demokratis, perlindungan terhadap kebebasan pers dijamin dalam Undang-undang, bahkan dalam konstitusi. Di Swedia misalnya, negara telah menjamin akses publik untuk mendapatkan informasi, yang juga diterjemahkan sebagai jaminan bagi kebebasan pers, sejak dua abad silam. Lalu negara Amerika Serikat mengikutinya dengan mengundangkan “Freedom of Information Act”    pada tahun 1966, yang kemudian diikuti oleh 40 negara lainnya.[6]
     Di Indonesia, kebebasan pers  dilindungi oleh konstitusi. Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan pers. Pasal 28 UUD 1945 berbunyi: ‘’Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.’’
                 Sedangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), kebebasan pers tidak disebutkan secara eksplisit. Pasal 19 Konstitusi RIS yang mengatur kebebasan mengeluarkan pendapat hanya memuat kalimat sebagai berikut:           ‘’Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan           pendapat’’.
Kalimat serupa kembali tertuang dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)  1945 dalam pasal 19.  Sementara dalam Pasal 28 (f) UUD 1945 perubahan kedua dinyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”[7]

                Pada era reformasi, Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah mencabut Peraturan Menteri Penerangan Nomor  01 tahun 1948 Tentang Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Menteri pada kabinet  Habibie ini sekaligus menyederhanakan proses perolehan izin dan tidak ada lagi pembatalan SIUPP terhadap penerbitan pers.                  Kebijakan yang dibuat pada masa transisi ini selanjutnya menjadi langkah awal untuk memperkuat posisi pers agar tidak mudah diberangus dengan semena-mena oleh pemerintah. Lalu lahir Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan terhadap pers, dengan memuat ancaman hukuman penjara maksimal dua tahun, atau denda maksimal Rp500.000.000,- bagi siapapun yang menghalangi kemerdekaan pers.
            Maju mundurnya kebebasan pers di Indonesia tak terlepas dari produk hukum yang  dilahirkan oleh pemerintah yang berkuasa. Konfigurasi politik pada suatu periode kepemimpinan mempengaruhi produk hukum tentang pers yang dilahirkan. Hal ini kerap terjadi,  karena hubungan antara politik dan hukum kerap menimbulkan dilema.
Satjipto Rahardjo memaparkan dalam hubungan tolak tarik antara politik   dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada pada kedudukan yang lebih lemah.[8]
               Pemikiran ini bersesuaian dengan pemikiran Moh. Mahfud MD tentang pengaruh konfigurasi politik terhadap hukum. Menurut Moh. Mahfud MD, dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter  maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/ konservatif/ elitis.[9] 
Dominasi kepentingan pemerintah yang berkuasa dalam produk hukum yang lahir, tidak bisa dinafikan, karena hukum pada hakikatnya disusun oleh sebagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang.[10]
Era reformasi yang  melahirkan konfigurasi politik demokratis, berpengaruh pula terhadap produk hukum di bidang pers. Selain mengatur jaminan kebebasan pers, Undang-undang  Nomor 40 Tahun 1999 juga mengatur hak dan kewajiban perusahaan pers. Pasal 13 Undang-Undang ini memuat ketentuan sebagai berikut:
Perusahaan pers dilarang memuat iklan:
a. Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu  kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;[11]
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 13 (a) dengan tegas melarang perusahaan pers memuat iklan yang bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Ketentuan ini seyogyanya dipatuhi oleh perusahaan pers, karena dengan mematuhi hukum, akan terwujud ketertiban dalam masyarakat. Sebagaimana disebutkan Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidarta bahwa salah satu fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan kehidupan manusia dalam masyarakat.[12] Hal ini selaras dengan ungkapan Van Apeldoorn bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.[13]     
Namun, dari sejumlah penerbitan pers di Riau, ada yang memuat  iklan yang diduga bertentangan dengan susila, yakni   surat kabar “Pekanbaru MX”. Berdasarkan kondisi ini penulis tertarik untuk menulis makalah berjudul “Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 13 (a) dalam Suratkabar Pekanbaru MX”.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
            1. Bagaimana sejarah pers Indonesia?
2. Bagaimana Implementasi   Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 13 (a) dalam Suratkabar Pekanbaru MX.”?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah  ini adalah untuk:
1. Mengetahui sejarah pers Indonesia.
2. Mengetahui implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 13  (a) dalam Suratkabar Pekanbaru MX.”?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pers Indonesia  
                        Sejarah pers Indonesia dimulai dari  lahirnya surat kabar pertama di Indonesia yang bernama “Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes”.  Surat kabar ini lahir pada tahun 1745, kira-kira 136 tahun setelah kelahiran surat kabar tertua di dunia yaitu “Relation order Zeitung” yang terbit pada tahun 1609 di Strassbourg.[14] Sedangkan Yasuo Hanazaki menulis surat kabar Batavia Nouvelles en Politique Raisonnementes terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta).[15]
                        Surat kabar ini menggunakan bahasa Belanda. Menurut Hanazaki, kongsi dagang Hindia Belanda, Vreningde Oost- Indische Compagnie (VOC) tidak menyukai berita-berita yang dimuat oleh surat kabar yang diterbitkan oleh Batavia Nouvelles en Politique, sehingga  surat kabar ini dibredel pada Juni 1776.
                        Sementara, Tribuana Said menulis, surat kabar Batavia Nouvelles en Politique, ditutup pada Juni 1746.[16] Surat kabar terbitan orang Belanda berikutnya baru muncul pada tahun 1817 dengan nama Bataviasche Courant. Selanjutnya muncul koran-koran Bataviaascndelsblad (1829), Soerabajasche Courant (1831), dan Samarangsche Advertentieblad (1845). 
                        Menurut  Hanazaki, pada tahun 1848, konstitusi yang lebih demokratis disahkan di negeri Belanda. Adanya atmosfer liberal di negara induk, turut mendorong munculnya penerbitan surat kabar di Hindia Belanda. Tahun 1855, di Surakarta (Solo) terbit surat kabar berbahasa Jawa, Bromartini. Tahun berikutnya muncul surat kabar berbahasa Melayu pertama, Soerat Kabar Bahasa Melajoe, di Surabaya.[17] 
        Belanda menggunakan Undang-undang pers, Persbreidel Ordonnantie dan Hatzaai  Artikelen yang memuat ketentuan tentang tindakan pemerintah kolonial terhadap orang yang melanggar ketertiban umum serta memperlihatkan dan menyebarkan kebencian terhadap pemerintah kolonial.
          Perkembangan pers pada masa penjajahan Belanda tak terlepas dari   intervensi    pemerintah kolonial. Watak kolonialisme yang bersifat  menindas, melahirkan produk hukum yang otoriter. Hal ini terlihat dari perjalanan pers pada masa penjajahan Belanda.
            Surat kabar Bataviasche Nouvelles en Politique raisonnementen dibredel  pada Juni 1776 karena berita yang dimuat surat kabar ini tak disukai oleh Kongsi Dagang Hindia Belanda, Vereningde Oost- Indische Compagnie (VOC).[18]
           Menurut Yasuo Hanazaki, Dewan direktur VOC menganggap dampak surat kabar itu  ”sangat berbahaya di negeri ini dan untuk segala percetakan dan penerbitan di Batavia”. Pemerintah kolonial Belanda melakukan pengekangan terhadap pers, dengan mengeluarkan berbagai produk hukum.
           Pada tahun 1856, diberlakukan Peraturan Barang Cetakan, yang berisi ketentuan sensor preventif untuk mengawasi tulisan-tulisan di suratkabar yang selalu mengkritik Sistem Tanam Paksa. Namun mulai tahun 1906, penguasa kolonial menghapus ketentuan pra sensor terhadap surat kabar, sebagai dampak liberalisasi di negara jajahan, menyusul disahkannya konstitusi yang lebih demokratis di Belanda  pada 1848.[19]
           Seiring dengan bergulirnya gerakan menentang kolonialisme di Indonesia, organisasi kebangsaan Indonesia mulai bermunculan. Seperti lahirnya Budi Utomo (1908), Indische Partij (1911) Sarekat Islam (1912), Partai Komunis Indonesia (1920) dan Partai Nasional Indonesia (1927).
      Pers Indonesia pun mulai mengelompokkan diri sesuai dengan aliran politik dan kecenderungan organisasinya pada 1913, dengan terus menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme. Menurut Yasuo Hanazaki, Belanda berupaya mematikan kebangkitan gerakan nasionalis itu dengan mengeluarkan ”Ordonansi Pers” pada tahun 1931. Sejumlah pakar pers termasuk Tribuana Said menyebut produk hukum ini dalam Bahasa Belanda, ”Persbreidel Ordonantie”. Dengan peraturan itu penguasa berhak menghentikan penerbitan surat kabar untuk sementara demi ketertiban umum. Akibat muculnya peraturan itu, antara tahun 1931-1936, tidak kurang dari 27 surat kabar kaum nasionalis diberangus oleh pemerintah kolonial.
          Setelah berakhir penjajahan Belanda, Indonesia kemudian dijajah oleh Jepang (1942-1945). Selama pendudukan Jepang, pemerintah kolonial memberlakukan ”Undang-undang Pers Jepang.” Menurut Tribuana Said, aturan pers Indonesia pada saat itu dikendalikan berdasarkan undang-undang penguasa (Osamu Seiri) No 16 tentang pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan dan penilikan pengumuman dan penerangan. Pasal 3 Undang-undang tersebut berbunyi:
”Terlarang menerbitkan barang tjetakan jang berhoeboengan dengan pengoemoeman ataoe penerangan baik jang beroepa penerbitan setiap hari, setiap minggoe, setiap boelan maoepoen penerbitan dengan tidak tertentoe waktoenya, ketjuali oleh badan-badan jang soedah mendapat izin.”
  Berdasarkan   ketentuan penguasa Jepang tersebut, semua surat kabar Belanda dan Cina  dilarang terbit. Panglima militer Jepang  kemudian menerbitkan sejumlah surat kabar dengan cara mengubah nama-nama surat kabar pribumi sesuai keinginannya. Sensor dilakukan atas segala cetakan bahkan berita-berita dan karangan-karangan disaring dahulu oleh petugas sensor. Sebelum suatu surat kabar dicetak, petugas sensor resmi melakukan   sensor pertama dan selanjutnya petugas dari Domei melakukan pemeriksaan kedua dan membubuhi paraf.
      Dalam catatan Tribuana Said, selain melarang terbit suratkabar   berbahasa Belanda dan Cina, pemerintah kolonial Jepang juga memberangus harian berbahasa Indonesia Pemandangan pada Agustus 1942, atas tuduhan menghina  kaisar.
      Selama tiga tahun masa pendudukan Jepang, pemerintah kolonial memanfaatkan pers untuk memobilisasi rakyat demi kepentingan Jepang dalam  peperangan melawan sekutu. Bagi wartawan yang melakukan perlawanan di bawah tanah ataupun dicurigai melakukan perlawanan, maka tentara Jepang langsung menangkap bahkan membunuh wartawan tersebut.  Sayuti Melik dan S.K Trimurti, termasuk wartawan yang sempat disekap penguasa militer  Jepang. Seorang wartawan, Kusen meninggal dalam penjara Jepang. Sementara, di Kalimantan sejumlah wartawan Indonesia dibunuh. Antara lain Anomputro, M. Homan, H. Babou, A. Atjil dan Amir Bodan.[20]
  Selama tiga tahun pendudukan Jepang, pers dilarang    menggunakan bahasa Belanda. Hal ini mempercepat penggunaan bahasa Indonesia. Sebagai gantinya, orang Indonesia terkena pengaruh mentalisasi Jepang dimasa perang. Mentalitas ini kemudian memperkuat konsep negara integralistik serta ketidaksukaan terhadap liberalisme Barat. Kenyataan itu memainkan peranan penting dalam menentukan kebebasan berpendapat yang diatur dalam UUD 1945. Lebih dari itu, Jepang telah meninggalkan sistem perijinan pers.          
      Dalam gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, pers dan pergerakan kebangsaan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Keduanya merupakan dwitunggal dalam arti sebaik-baik arti.[21] Hal ini dikarenakan dalam mencapai kemerdekaan Indonesia, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa yang berjuang bersama perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air berjuang untuk menghapus penjajahan. Dimasa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua status sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan.[22]
Berakhirnya penjajahan Jepang membuka ruang kebebasan pers seluas   luasnya bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Jika pada pemerintahan kolonial pers tumbuh dengan pengekangan melalui produk hukum Hindia Belanda, maka pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, pers tidak mengalami pengekangan. Bahkan Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan pers. Pasal 28 UUD 1945 berbunyi: ‘’Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.’’
   Sedangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), kebebasan pers tidak disebutkan secara eksplisit. Pasal 19 Konstitusi RIS yang mengatur kebebasan mengeluarkan pendapat hanya memuat kalimat  sebagai        berikut:  ‘’Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat’’.       Kalimat serupa kembali tertuang dalam Undang-undang Dasar Sementara (UUDS)  1945 dalam pasal 19.
           Pada awal Orde Lama, ketika Indonesia baru merdeka, pers Indonesia  sempat tercatat sangat bebas. Namun seiring dengan berakhirnya periode demokrasi liberal, Soekarno memimpin dengan sistem demokrasi terpimpin. Maka perubahan sistem pemerintahan ke arah  otoriter, membuat  pemerintahan Soekarno melakukan tindakan pengekangan terhadap pers.
        Hal ini mulai dilakukan oleh pemerintahan Soekarno sejak tahun 1952,  baik oleh pemerintah maupun oleh tentara (Angkatan Darat). Edward C Smith mencatat sejak Mei 1952 sampai 1959 tindakan anti pers yang dilakukan sebanyak 374, yang mencakup tindakan teguran, interogasi, sanksi kertas, sanksi ekonomi, pengusiran, penyitaan percetakan, pembatasan perjalanan, pemenjaraan, pembredelan dan sebagainya.[23]
      Tindakan anti pers ini menyusul diterbitkannya   Keputusan Menteri Penerangan tanggal 26 April 1950,  yang mengatur pembatasan halaman surat kabar. Keputusan ini menetapkan surat kabar hanya dibenarkan terbit dua halaman.  Hal ini menyebabkan penyebaran informasi sangat dibatasi.
Pada bulan Maret l954 diterbitkan pula Keputusan   Menteri   Penerangan RI     Nomor  6 Tahun 1954  yang memuat ketentuan bahwa semua subsidi langsung dari negara dipotong oleh Departemen Penerangan. Alasan utama dari pemotongan subsidi itu adalah soal kesulitan kertas koran. Pada tahun berikutnya, diterbitkan pula Keputusan Menteri Penerangan  RI Nomor 946 Tahun 1955, yang memuat ketentuan menghentikan semua subsidi kertas koran.
       Pada era Orde Baru, di awal  pemerintahan Soeharto, diterbitkan Undang-undang pers yang pertama, Undang-undang  Nomor 11 tahun 1966. Undang-undang ini memuat ketentuan pokok tentang pers, yang menegaskan terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Ketentuan pasal 8 menentukan untuk menggunakan hak penerbitan pers tidak diperlukan Surat Izin Terbit (SIT), seperti yang berlaku pada Orde Lama.
         Namun  Undang-undang ini tidak mencabut sekaligus ketentuan syarat memiliki SIT. Sebab dalam pasal 20  yang mengatur tentang peralihan ditentukan bahwa ketentuan SIT sementara masih berlaku, sampai keputusan        pencabutannya oleh pemerintah dan DPR.
       Pemerintah lalu menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, yang juga menegaskan pers Indonesia tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Lalu sebagai kelanjutan Undang-undang ini, dikeluarkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01 Tahun 1984 Tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dalam pasal 33 Keputusan Menteri ini antara lain diatur SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan pers/ penerbitan pers dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan Pers. SIUPP ini menjadi momok bagi pers Indonesia, seperti SIT pada era demokrasi terpimpin. Banyak penerbitan pers yang dibredel karena pemberitaannya tidak sesuai dengan keinginan pemerintah,            dengan pencabutan SIUPP.
       Pada era reformasi, Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah mencabut Peraturan Menteri Penerangan Nomor  01 tahun 1948 Tentang Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Menteri pada kabinet  Habibie ini sekaligus menyederhanakan proses perolehan izin dan tidak ada lagi pembatalan SIUPP terhadap penerbitan pers.
        Kebijakan yang dibuat pada masa transisi ini selanjutnya menjadi langkah awal untuk memperkuat posisi pers agar tidak mudah diberangus dengan semena-mena oleh pemerintah. Lalu lahir UU No 40 tahun 1999, yang menjamin kemerdekaan terhadap pers, dengan memuat ancaman hukuman penjara maksimal dua tahun, atau denda maksimal Rp500.000.000,- bagi siapapun yang menghalangi kemerdekaan pers.
            Kemajuan  yang  sangat    berarti terhadap kebebasan pers di Indonesia terjadi pada tahun 2005, ketika kebebasan pers dijamin dalam pasal tersendiri dalam perubahan kedua UUD 1945, yakni pasal 28 (F) yang bunyinya sebagai berikut;
   “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
   mengembangkan  pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, 
 memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi         dengan    menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
                Jaminan terhadap kemerdekaan pers ini kemudian membuat pers Indonesia tumbuh menjamur.  Tak kurang  dari Tak kurang  dari  1687 penerbitan pers  terbit di Indonesia pada tahun 1999.[24]

                  Sementara di Riau, sejarah pers  dimulai dengan lahirnya majalah Al-Iman yang terbit pertama kali pada 23 Juli 1906.[25] Majalah yang terbit di Singapura ini beredar di seluruh Semenanjung, Sumatera dan Jawa. Pengelolanya adalah Raja Ali Kelana. Al-Iman diterbitkan oleh percetakan yang bernama Mathabatul Ahmadiah yang kemudian dikenal dengan nama Al Ahmadiah Press, beralamat di jalan Lord Minto (Minto Road) nomor 50 Singapura. Percetakan ini merupakan usaha percetakan Syarikat Dagang Ahmadi yang dibentuk pada 1906 di Midai, Kepulauan Natuna, dengan tokohnya Raja Ali Pulau. Menurut catatan, syarikat dagang yang menunjang perekonomian kerajaan Riau- Lingga ini merupakan syarikat dagang yang pertama dibentuk oleh bangsa pribumi Indonesia.[26]      Al Ahmadiyah Press mengalami masa kejayaan sampai tahun 1950-an. Terbitannya meliputi karya dari Riau, Johor, dan Singapura.[27]

                    Pada masa penjajahan Jepang, tepatnya pertengahan 1944, suratkabar pertama yang terbit di Keresidenan Riau bernama mingguan Riau Koho. Suratkabar ini diterbitkan oleh badan propaganda Jepang Seng Doeng.  Pengelolanya adalah orang Jepang dan ada juga orang Indonesia bernama Abu Bakar Abduh. Suratkabar ini terbit hingga saat kemerdekaan 1945, dan telah menggunakan percetakan sendiri. Dipenghujung tahun 1945, Riau Koho diambil alih dan diterbitkan dalam dua bahasa, Indonesia dan Belanda. Dalam bahasa Indonesia media ini bernama Perjuangan Kita. Sasarannya adalah untuk membangkitkan semangat  perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan RI.[28]

Seperti halnya pers Indonesia, pasang surut juga dialami perusahaan pers di Riau. Salah satu perusahaan pers yang masih bertahan dan terus menggurita hingga saat ini adalah surat kabar Riaupos. Suratkabar yang tergabung dengan Jawapos grup ini memiliki anak perusahaan tak kurang dari 12 media cetak (11) surat kabar dan satu majalah), dua media elektronik (TV).

Ketika Soeripto menjabat Gubernur Riau pada 28 Desember 1988 menggantikanjn Imam Munandar yang meninggal dunia 1987,  Soeripto memutuskan untuk menghidupkan kembali suratkabar Pemerintah Daerah Warta Karya, karena menyadari pentingnya peranan media dalam membentuk pendapat umum. Lalu mantan Wakil Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat ini setuju nama media itu diganti menjadi suratkabar Riaupos. 22 September 1987 Riaupos mulai operasional. Selama setahun Riaupos tak menunjukkan perkembangan baik. Lalu disepakati adanya kerjasama Riaupos  dengan Jawapos, perusahaan pers di Surabaya pimpinan Dahlan Iskan. Lalu pada 20 November 1991, Menteri Penerangan memberikan persetujuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk Riaupos untuk terbit empat kali seminggu. Namun dalam kenyataannya, Riaupos terbit harian.[29]

                Salah satu  surat kabar yang diterbitkan dalam grup Riaupos adalah “Pekanbaru MX”. Harian ini  terbit harian setebal 32 halaman. Tahun 2011, tercatat sebanyak 17 suratkabar harian yang beredar, ditambah tabloid dan koran mingguan, yang jumlahnya hampir mencapai 90 media cetak yang terbit di Riau.

B.     Implementasi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 13 (a) dalam Suratkabar ”Pekanbaru MX”
                        Kebebasan pers menjadi salah satu tolok ukur demokratis atau  tidaknya konfigurasi politik suatu negara, karena pers merupakan pilar keempat demokrasi, setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.  Konfigurasi politik Indonesia periode reformasi bercorak demokratis, sehingga melahirkan produk hukum yang responsif, termasuk produk hukum dibidang pers. Undang- undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (2) menegaskan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.[30]
                        Pasal ini memberi ruang kebebasan untuk media dari sensor dan pembredelan. Namun Pasal 13 (a) undang-undang yang sama  dengan tegas melarang perusahaan pers memuat iklan yang bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Dalam penjelasan undang-undang ini tidak disebutkan definisi kesusilaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KUBI) kata kesusilaan  bermakna kesopanan, sopan santun, keadaan ilmu adab.[31]  Defenisi kesusilaan dapat juga ditemukan  dari pemikiran pakar hukum  J. Van Kan dan J.H. Beekhuis (1983) yang menulis sebagai berikut:
            “…Kaidah kesusilaan, yang timbul dari akhlak manusia. Peraturan-peraturan ini diakui dan ditaati oleh kebanyakan dari mereka yang tidak mau mengakui perintah-perintah Tuhan atau hubungan yang bersifat yang mengatur  dan diatur antara Tuhan dan manusia, yang mengharuskan mereka melaku kan tindakan-tindakan tertentu. Peraturan-peraturan  ,,kamu tidak boleh membunuh,, kamu tidak boleh mencuri” ditaati sebagai peraturan kesusilaan oleh kebanyakan dari mereka, yang menganggap Sepuluh Perintah dari Kitab Injil sebagai tidak tertujukan kepada mereka. Dari contoh-contoh ini sudah teranglah, bahwa isi dari kaidah kesusilaan dapat bersamaan dengan isi dari kaidah agama,"24
                        Sementara itu, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1993) menjelaskan kaedah  kesusilaan sebagai berikut:
                “Kaedah-kaedah kesusilaan yang dipakai dalam arti etika dalam arti sempit (atau   “sittlichkeit” atau moral), hanya dapat dimengerti sebagai kaedaanh kaedah kehidupan pribadi, apabila dihubungkan dengan apa yang telah diuraikan didalam pembicaraan mengenai sumber timbulnya kaedah–kaedah.“[32]

            C.S.T. Kansil (1986) menjelaskan kesusilaan sebagai berikut:
                                “Norma kesusilaan ialah peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari  manusia (insan-kamil). Peraturan-peraturan hidup ini berupa bisikan kalbu atau suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada manusia agar supaya ia menjadi manusia yang sempurna. Hasil daripada perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu pada manusia bergantung pada pribadi orang-orang.  …Norma-norma kesusilaan itu dapat juga menetapkan buruk baiknya suatu perbuatan manusia dan turut  pula memelihara ketertiban manusia dalam kehidupan masyarakat. Norma kesusilaan inipun bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia.”[33]

                        Dari sejumlah defenisi yang dikemukakan di atas, jelas dinyatakan bahwa kesusilaan timbul dari akhlak manusia, yang isi nya dapat bersamaan dengan isi dari kaidah agama, dapat juga menetapkan buruk baiknya suatu perbuatan manusia dan  turut  pula memelihara ketertiban manusia dalam kehidupan masyarakat. Norma kesusilaan  bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
                        Dalam kaitan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 13 (a)  yang dengan tegas menyebutkan perusahaan pers dilarang memuat iklan yang bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat, maka pengertian yang terkandung tentunya perusahaan pers tidak boleh memuat iklan yang berisi dan menampilkan pornografi dan gambar vulgar, yang bertentangan dengan kesopanan. Namun dalam prakteknya, media Pekanbaru MX mengabaikan ketentuan ini. Dari penelitian yang peneliti lakukan dari terbitan Pekanbaru MX edisi 18 November 2012 sampai edisi 18 Desember 2012, ditemukan di setiap edisi terdapat iklan yang berisi dan menampilkan pornografi dan gambar vulgar, yang bertentangan dengan  kaedah kesusilaan.
                        Dari 32 jumlah halaman surat kabar ini,  terdapat tujuh sampai sembilan  halaman yang menampilkan iklan dengan kriteria ini. Iklan dimaksud berupa iklan telpon sex, iklan pelangsing, iklan pemutih badan, dan iklan penjualan alat bantu sex, yang ditampilkan di bagian tengah dan bagian bawah halaman. Gambar yang ditampikan untuk iklan-iklan ini adalah gambar perempuan berbusana minim, yang menonjolkan bagian-bagian tubuh sensual perempuan yang seharusnya tertutup. Selain itu, ada pula gambar laki-laki dan perempuan dalam pose ”panas” terkesan tanpa busana.
            Apa yang ditampilkan dalam iklan tersebut menurut penulis bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. L.J. van Apeldoorn mengungkapkan dalam menimbang pertanyaan, apakah yang dituntut oleh kesusilaan terhadap  dirinya, manusia secara sadar atau tidak sadar mengikuti peraturan-peraturan yang terbentuk dalam masyarakat menurut pandangan-pandangan yang berlaku     dalam masyarakat tentang apa yang dimaksud susila atau tidak.[34] 
Dalam masyarakat Riau, tampilan gambar yang mempertontonkan bagian tubuh yang sensual tentulah dinilai melanggar kesusilaan. Riau yang identik dengan Melayu, telah menempatkan  landasan hidup adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Bahkan, jika ada ketentuan adat yang tak bersesuaian dengan syarak atau hukum Islam, maka syaraklah yang dijadikan pedoman, sedangkan adat tersebut akhirnya dibiarkan habis dikikis zaman.[35] Tampilan iklan yang bertentangan dengan susila tentu lah bukan sesuatu yang bisa disepadankan dengan adat, dan jelas melanggar  Pasal 13 (a)  Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar