"Lakukan yang terbaik,kini dan nanti"

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Demokratisasi dan Pembangunan Berkeadilan: Menuju Penguatan Sistem Politik dan Otonomi Daerah*


Seperti halnya negara-negara di belahan dunia lain, Indonesia memasuki akhir dasawarsa 1990an menghadapi perkembangan politik yang tidak ada presedennya. Setelah melewati masa-masa kepemimpinan politik yang sangat kuat – dan cenderung totaliter - baik pada era Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto, kepolitikan Indonesia masa kini dihadapkan pada tantangan baru, yakni tuntutan universal mengenai pemberlakuan Hak-hak Azasi Manusia (HAM), Lingkungan Hidup, dan Demokrasi dalam system politiknya. Di samping Negara yang harus tetap kuat dan mampu memfasilitasi proses demokratisasi, juga rela berbagi ruang dengan masyarakat yang menuntut adanya peran serta. Sebagai akibatnya, selain tetap diperlukan adanya demokrasi dari “atas” (Above) (baca: Negara dan Pemerintah Pusat), juga terbuka ruang bagi munculnya demokrasi dari “bawah” (below), baik dari masyarakat maupun devolution of power terhadap Pemerintah Daerah, yang kita kenal sebagai desentralisasi atau penguatan otonomi daerah. Dengan demikian hubungan intra Negara – antara Pemerintah Pusat dengan Manajemen Pemerintahan Daerah -, dan Negara dengan masyarakat tidak zero sum game sifatnya. Jatuhnya Rejim Orde Baru harus disikapi sebagai momentum bagi terbukanya peluang menuju konsolidasi demokrasi dan lahirnya proses pembangunan yang berkeadilan. Empat belas tahun usia Reformasi, 21 Mei 1998- 21 Mei 2012, mesti dijadikan kesempatan untuk mengevaluasi perubahan system politik dan akibatnya di negeri ini.  

Kegagalan untuk membangun demokrasi dari “atas”, telah mendorong lahirnya demokrasi dari “bawah”. Bila dalam system yang disebut pertama, aktor politiknya masih terbatas dan dapat dikendalikan perilakunya, maka dalam system yang disebut kemudian, justru sebaliknya. Masing-masing aktor berdiri sendiri, saling bersaing dan belum tentu satu dengan yang lain mau membangun dan bekerjasama – kecuali jelas rewards-nya - sebagaimana biasa berlaku dalam sebuah system politik yang sudah mapan. Dalam era teknologi informasi sekarang, actor baru muncul. Bukan hanya partai politik, kalangan professional atau mobs dan berbagai kelompok penekan (pressure groups) konvensional, melainkan juga jejaring social (social networks) yang difasilitasi oleh media social (social media), seperti Twitter dan Face Book. Karena kemudahan teknologi tersebut, kesadaran kolektif dengan mudah dibangun. Di tambah lagi dengan lemahnya penegakan hukum, maka gerakan social baru ini telah berubah menjadi sebuah kekuatan politik yang cenderung “liar” dan sulit dijatuhi sanksi. Dari situ pula karakter egalitarian – yang menjadi cirri demokrasi – dibangun. Setelah gonjang ganjing Negara Islam Indonesia (NII) yang mewarnai gerakan social baru mereda, terkadang diselingi berbagai kasus gerakan terorisme, kini media kita gencar membahas korupsi politik dan mafia anggaran yang dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kekuasaan. Bila sebelumnya persoalan mafia anggaran hanya ada di sekitar birokrasi dan segelintir calo politik dan anggota DPR, sekarang kecenderungannya sudah merajalela. Bukan hanya kelompok di sekitar eksekutif, melainkan sudah mulai mewabah ke Senayan, DPR sebagai penentu anggaran Pembangunan Nasional. Siapa pun yang masuk ke lembaga pengawas dan pencegah korupsi, akan menghadapi persoalan ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus siap dengan berbagai berita yang menyudutkannya. Social media akan dengan mudah dan tanpa ragu lagi menyebarkan berita di seputar korupsi tersebut. Karena begitu bebasnya lalu lintas berita, tak ada lagi rasa takut untuk dianggap melakukan fitnah atau pencemaran nama baik dan presumption of innocence.

Apakah memang yang disebut NII itu merupakan sebuah kenyataan, atau hanya “kambing hitam” yang sengaja diciptakan untuk membuat suasana secara social politik tidak tertib (socio-political disorder), tak terlalu relevan untuk dipikir lebih panjang. Yang penting berita itu sudah menyebar dan perlu diwacanakan. Istilah The Indonesia Lawyers Club adalah mencerahkan. Bagi penulis, sikap semacam ini lebih mengutamakan “rame” ketimbang isi.  Rame ing televisi, sepi ing gawe”, nampaknya telah menjadi spirit baru para pengelola media. Dalam ketidak tertiban itu, segala kemungkinan dapat dirancang. Boleh jadi. ada elemen masyarakat kita yang memang mengharapkan ketidaktertiban itu, karena darinya “proyek politik” dapat diciptakan.

Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa demokratisasi yang terjadi sekarang akan lebih liberal sifatnya ketimbang model demokrasi Orde Baru yang “illiberal”. Dalam situasi yang lebih bebas, proses demokrasi dikhawatirkan - oleh mereka yang masih terpukau pada nilai-nilai lama - akan melahirkan kebebasan tanpa batas, yang pada gilirannya dapat merusak azas Kesatuan dan Persatuan. Apabila Negara tidak mampu mengendalikan mekanisme power game tersebut, ketidak stabilan diduga akan lebih menonjol ketimbang sebaliknya. Apalagi ketika sumberdaya politik yang berada di luar Negara masih sangat terbatas, maka akan terjadi perebutan di antara actor politik untuk mendapatkan akses ke Negara. Kegagalan Negara dalam menjalankan fungsi utamanya: menjaga Kedaulatan Wilayah, Menciptakan Kesejahteraan Sosial dan Menegakkan Hukum, akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Negara.

Negara yang mestinya menjadi penentu kesejahteraan warganya (Brings the state back in) justru berubah menjadi sekedar tukang pungut pajak, dan pembela mereka yang memiliki kekuatan. Bahkan, dalam banyak hal, sekarang banyak yang berani menuduh bahwa Negara tidak hadir dalam kehidupan masyarakat (Government simply does not govern – kata Robert Dahl). Dalam situasi seperti ini, otonomi relative Negara telah digunakan oleh elite untuk memperjuangkan kepentingannya. Apalagi ketika sumberdaya Negara makin menurun, kian besar pula cengkeraman mereka terhadap Negara. Padahal, untuk mempertahankan eksistensinya, dukungan sumberdaya merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa memikirkan konsep Pembangunan Berkeadilan, yang terjadi kemudian pertarungan antar elite untuk mendapatkan berkah dari Negara. Persis seperti sejarah raja-raja di masa lalu, di mana kekuasaan dimanifestasikan dengan kekayaan (wealth), penguasa Indonesia modern pun banyak yang mempertontonkan budaya politik masa lalu. Dalam konteks sedemikian, tidak berlebihan bila sekarang pun masih terjadi paradoks, di satu pihak, Budaya Twitter sudah dijadikan media komunikasi, di pihak lain, tingkah laku dan persepsi masyarakat terhadap kekuasaan tak ubahnya seperti para penguasa di masa lalu. Karakter yang demikian sungguh mencerminkan fenomena “Negara lama, dalam Masyarakat Baru” (Old State, New Society) - Kata Benedict Anderson.

Sebenarnya, pergeseran dari system politik yang mengutamakan harmoni dan penyeragaman (authoritarian system) menuju system politik yang penuh persaingan dan kemajemukan (Liberal System), selalu membawa resiko. Tidak satu pun negara yang mengalami proses perubahan dalam Gelombang Ketiga Demokrasi ini terbebas dari persoalan ini. Yang membedakan antara pengalaman satu negara dengan negara lain, hanyalah skala persoalan dan lamanya proses konsolidasi demokrasi itu terjadi. Studi yang menarik dari Samuel Huntington mengenai hal ini, cukup baik untuk dijadikan rujukan. Karena adanya persoalan-persoalan transisi (transition problems), masalah kontekstual (contextual problems) dan masalah systemik (systemic problems) yang tidak sama antara satu negara dengan lainnya, maka transisi menuju demokrasi itu pun tidak dapat dimatematikkan. Ada negara yang hanya memerlukan waktu singkat untuk melakukan proses demokratisasi secara damai, tapi tidak sedikit pula yang justru menghadapi situasi yang kian tak menentu, dan bahkan mengarah ke sebaliknya (reverse wave).[1] Indonesia, sebagai contohnya, akan secara khusus disinggung dalam akhir tulisan ini. Sebelum sampai ke pengalaman politik mutakhir Indonesia, akan terlebih dahulu dibahas makna demokrasi dan demokratisasi, serta berbagai persoalan yang melingkupinya.

Makna Demokrasi dan Demokratisasi

 

Nampaknya tidak ada pengertian tunggal mengenai konsep politik yang sekarang mewarnai arus utama (mainstream) politik di Dunia Ketiga ini. Sejalan dengan tahap perkembangannya, ia pun mengalami perkembangan makna sesuai dengan “budaya” dan karakter politik masyarakat yang menganutnya. Pada awalnya, demokrasi ditafsirkan secara normative dan ideal, yakni sebagai bentuk “pemerintahan oleh rakyat (government by the people)”. Kemudian sejak masa pemerintahan Presiden Abraham Lincoln (AS), rumusannya ditambah, yaitu “government not only by but also for the people” artinya, suatu system pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat.[2]

Namun, persoalannya tidak terlalu mudah ketika harus diterapkan dalam praktek. Setidaknya, ada beberapa hal yang mengharuskan batasan pengertian tersebut perlu dijabarkan. Pertama, siapa sesungguhnya yang disebut ‘rakyat’ (people) di sini. Apakah semua warga Negara, atau sebagian dari mereka yang berhak memilih dan dipilih, atau hanya kalangan elite terbatas saja? Pertanyaan ini, merupakan bahan diskusi menarik dan tak pernah berujung di antara kalangan Realis dan Idealis dalam aliran Ilmu Politik. Kedua, siapa yang harus melaksanakan pemerintahan dan bagaimana caranya bila konsep ‘people’ tersebut tak pernah jelas? Ketiga, kepada kepentingan siapa pemerintah harus dijalankan manakala terjadi konflik dalam masyarakat yang mendukungnya?

Barangkali, karena itulah maka pengertian klasik mengenai demokrasi tersebut perlu disesuaikan dengan perkembangan kontekstual. Dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy yang terbit pada 1942, Joseph Schumpeter menggeser pemahaman normative klasik yang terlalu umum, dari “the will of the people” menjadi “pengaturan kelembagaan yang ditujukan untuk membuat keputusan politik di mana masing-masing individu memiliki kekuasaan (power) untuk menentukan dengan sarana persaingan yang lebih kompetitif lewat suara rakyat”.[3] Dengan rumusan seperti itu, Schumpeter berusaha untuk keluar dari bingkai yang terlalu ideal, rasionalistik, utopis menuju pemahaman demokrasi yang lebih empiris, deskriptif, kelembagaan dan prosedural. Dengan kata lain, ia mencoba untuk lebih melihat batasan pengertian itu dalam perspektif praksis, tidak sekedar teoritis. Di samping memperhitungkan sisi nilainya, yang tidak kalah penting adalah kenyataan dalam praktek, baik aspek bagaimana (how) dan juga lembaganya (institutions). Dalam konteks inilah, ada baiknya kita menghargai pandangan Robert Dahl, penulis berikutnya yang terkenal dengan bukunya Polyarchy: Participation and Opposition (1971), yang memberi penekanan pada hakikat demokrasi, yaitu: kontestasi dan partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan.

Untuk memperoleh gambaran lebih konkrit lagi mengenai demokrasi, perlu juga kiranya dikemukakan sejumlah unsure penting yang  pada umumnya sangat diperlukan di dalam mendorong proses konsolidasinya. Beberapa di antaranya adalah: tingkat kemakmuran ekonomi yang cukup tinggi, terjadinya distribusi pendapatan yang cukup memadai, berlakunya ekonomi pasar, adanya pembangunan ekonomi dan modernisasi social,  hilangnya system feudal dalam masyarakat, kuatnya kaum borjuis (no bourgeois, no democracy kata Barrington Moore), kuatnya kelas menengah, tingginya tingkat pendidikan masyarakat, budaya lebih dijadikan instrumen, pluralisme social dan adanya kelompok intermediasi yang kuat, tingginya tingkat kontestasi dan partisipasi, struktur demokrasi yang terlembagakan, lemahnya kekerasan politik, rendahnya tingkat polarisasi politik dan ekstrimisme, komitmen pemimpin terhadap demokrasi, tradisi toleransi dan kompromi yang tinggi, pengaruh demokrasi global, menghargai hokum dan HAM, homogenitas SARA.[4] Robert Dahl, menambahi dua unsure lain yang tidak kalah pentingnya adalah: urbanisasi dan perkembangan media massa

Nampaknya tidaklah terlalu mudah bagi negara manapun – termasuk Indonesia - untuk menerapkan system politik yang demokratis secara independen. Dalam berbagai kajian ditunjukkan bahwa usaha untuk memperoleh keseluruhan syarat-syarat demokrasi di atas tidak dapat berlangsung secara instant, terbebas dari factor-faktor eksternal dan struktural. Dengan kata lain, makin banyak persoalan structural yang dihadapi suatu Negara, makin sulit pula demokrasi sejati (genuine democracy) – bukan procedural – diterapkan. Oleh karena itu, benar apa kata Huntington bahwa setiap Negara dan masyarakat yang mencita-citakan demokrasi sebagai system akan menghadapi ketiga persoalan sebagaimana sebelumnya telah disinggung, yakni: transisi, kontekstual dan sistemik. Di sinilah makna penting dari “demokratisasi”, yang artinya adalah pergerakan dari system otoriter menuju bentuk pemerintahan yang lebih demokratis (the movement from authoritarian to democratic forms of rule)”[5].

Tidaklah terlalu mengherankan bila transisi menuju demokrasi begitu kompleks, memakan waktu (takes time) dan juga mahal (luxurious). Masalahnya, selain diperlukan adanya basis social yang kondusif terhadapnya, juga elemen-elemen budaya, politik, ekonomi serta lingkungan internasional sangat diperlukan di dalam membangun sebuah system politik yang demokratis. Inggris dan AS sampai ke kondisi yang dewasa secara politik seperti sekarang, memerlukan perjalanan yang amat panjang. Tidak kurang dari dua ratus tahun dibutuhkan untuk itu. Demikian pula halnya negara-negara besar lain. Belakangan, kita menyaksikan revolusi pemikiran berkembang di hampir seluruh penjuru dunia yang mengidolakan demokrasi, tak terkecuali Indonesia.

Oleh karena itu tidak terlalu keliru jika Francis Fukuyama mengatakan bahwa “sejarah telah berakhir (the end of history)”, manakala harus menjelaskan fenomena yang demikian. Dengan diadopsinya system nilai demokrasi, terutama liberal, maka secara langsung dan tidak langsung, telah mengakhiri sebuah evolusi persaingan antara dua ideology besar di dunia, yakni demokrasi liberal yang berdasarkan ekonomi pasar, di satu pihak, melawan komunisme serta sentralisme ekonomi di pihak lain, dengan ideology yang disebut pertama sebagai pemenangnya.

Dengan demikian, menurut dia, system demokrasi liberal Barat telah dianggap sebagai bentuk akhir dari pemerintahan manusia (democracy as the final form of human government)”[6] Ini semua mengandung pengertian bahwa dewasa ini, demokrasi liberal tidaklah sekedar dominan, melainkan satu-satunya pilihan. Di masa lalu, kata Fukuyama, masih ada alternatif, yakni system Komunis. Namun dengan bubarnya negara-negara Komunis di Eropa Timur, maka kepercayaan masyarakat dunia terhadap ideology Komunis menjadi kian menipis. Pada saat yang sama, mereka melihat banyak negara barat atau Negara non-barat lainnya yang menerapkan system demokrasi liberal, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada tahap inilah pikiran-pikiran demokrasi liberal mencuat ke permukaan. Apa yang disebut sebagai Gelombang Demokrasi Ketiga, telah menjadi warna dominan dari wacana bernegara di seluruh dunia. Meski Huntington mengingatkan bahwa tidak berarti semuanya akan berjalan dengan mulus, namun fenomena global sekarang mengarah pada apa yang dikatakan Fukuyama tersebut di atas, “The End of History”.

Demokratisasi dari “Bawah” di Indonesia


Penulis percaya pada kedua pemikir demokrasi yang sebelumnya sering dikutip, yakni Huntington dan Fukuyama. Dalam konteks Indonesia, pandangan kedua pemikir tersebut memiliki relevansi yang cukup mendasar.

Pertama, apakah memang ada pengaruh dari “berakhirnya sejarah” sebagaimana disebutkan di atas terhadap dinamika politik nasional Indonesia? Secara normative memang kita tidak pernah menyebutkan adanya penerapan Demokrasi Liberal dalam kehidupan bernegara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Tidak satu katapun konsep tersebut tertuang dalam dokumen negara Indonesia. Namun secara empiris, di sana-sini terlihat kesesuaian antara apa yang berkembang dengan pengertian Demokrasi Liberal yang dikemukakan oleh David Held. Penulis ini menganggap bahwa individu harus dibebaskan (free) dan setara (equal) di dalam menentukan kondisi kehidupannya. Dalam hal ini, dia harus diberi kebebasan untuk menikmati hak-haknya sejauh tidak merugikan hak orang lain.[7]

Kendati kita tidak memiliki latar belakang Pemilu yang menganut prinsip “jujur dan adil (jurdil) ” serta “langsung, umum, bebas dan rahasia (luber)” – kecuali Pemilu 1955 –toh akhirnya kita dapat melaksanakan Pemilu Legislatif 1999, sampai dengan Pemilu Legislatif 2004 dan dilanjutkan dengan Pilpres serta Pilwapresnya secara relatif memuaskan. Bahkan belakangan, kontes politik yang mengandalkan penentuan suara rakyat secara langsung diteruskan di dalam memilih kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten serta kota. Secara umum, prosesnya cukup memuaskan. Meski di sana-sini ada fenomena kekerasan politik, dan penyimpangan hokum, namun, relatif kurang berarti dibandingkan dengan hasil secara keseluruhan. Kemudian, dalam lima tahun berikutnya, 9 April 2009, Bangsa Indonesia kembali menyelenggarakan agenda politik lima tahunan, yakni Pemilu Legislatif, dan dalam tiga bulan sesudahnya, 8 Juli diikuti oleh Pemilu Eksekutif. Tiga pengalaman Pemilu Pasca Orde Baru sebelumnya, 1999, 2004 dan 2009, membuktikan kemampuan Bangsa Indonesia untuk mengakomodasi nilai-nilai demokrasi yang baru, tanpa disertai oleh gangguan yang berarti.

Namun demikian masih tetap harus diakui bahwa praktik dan hasil demokrasi yang dimaksud masih menyisakan pertanyaan: Demokrasi yang sejatikah yang diperoleh Indonesia Pasca Orde Baru, atau baru pada Tataran procedural? Masalahnya, baik pada sisi aturan, actor dan proses, demokratisasi di Indonesia mutakhir masih melahirkan berbagai masalah. Undang-Undang serta berbagai aturan pelaksana yang dilahirkannya, tidak mampu mengakomodasi tuntutan perubahan yang ada. Bahkan tidak sedikit masalah yang berkembang sekarang harus diatur oleh Undang-Undang yang lama. Kalau pun banyak aturan perundangan yang dilahirkan, tidak sedikit yang nuansanya “berbau pesanan” para pihak yang berkepentingan. Sebagai akibatnya, ketika Undang-Undang tersebut resmi disahkan, muncul sikap pro dan kontra yang sangat keras di dalam masyarakat. Dilihat dari actornya, demokratisasi di Indonesia masih belum secara kualitatif menunjukkan adanya praktik kesetaraan dan kemajemukan. Budaya politik feodalistik dan politik komunalisme masih terlihat dominan di dalamnya. Partai, gerakan dan berbagai kelompok-kelompok social yang mewarnai demokratisasi di negeri ini selalu menggunakan idiom-idiom primordial di atas dalam memperjuangkan kepentingannya. Sebagai akibatnya, proses politik yang terjadi sering diwarnai oleh berbagai praktik dagang politik (political transactions) yang sangat subyektif ketimbang obyektif membela warganya. Jika transaksi politik tidak tercapai, yang muncul adalah kekerasan politik yang mengarah pada pemikiran zero sum game sebagai bentuk ancamannya. Bila tuntutan mereka dipenuhi, barulah perdamaian dijadikan pilihannya.  

Fakta tersebut mengajarkan kepada kita beberapa hal. Pertama, dalam waktu yang relatif cepat dan karena tuntutan dari “bawah” , kita telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi – terutama majoritarianism (voting) – dalam pengambilan keputusan. Karena begitu kuatnya pengaruh HAM dan demokrasi liberal dalam kepolitikan mutakhir Indonesia, model demokrasi consensus (musyawarah), tidak banyak lagi dipraktekan. Terrlalu liberalnya karakter politik kita, serta beragamnya aktor politik yang ada, telah mengakibatkan begitu sulitnya keputusan diambil secara mufakat. Karena tidak mudahnya musyawarah dilakukan, maka setiap pembuatan keputusan diserahkan ke mekanisme pasar politik. Sampai ke soal pemilihan bupati, walikota, gubernur dan presiden serta wakil presiden, tidak lagi dilakukan secara tertutup dan terbatas pada kalangan elite politik sebagaimana sebelum reformasi dilakukan, melainkan dilakukan secara terbuka dan diserahkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan Negara.

Kedua, partai politik kini telah menjadi aktor utama dalam kepolitikan nasional, menggantikan TNI dan birokrasi sipil sebagaimana berlaku di masa Orde Baru. Ditambah lagi dengan diabsahkannya partai sebagai organisasi politik yang paling berhak mencalonkan Presiden dan Wakilnya di tingkat pusat, dan calon kepala daerah dan wakilnya, di tingkat daerah, makin jelas saja bahwa, pembentukan pemerintahan, selanjutnya diserahkan kepada parpol pemenang pemilu. Sebagai akibatnya, jumlah parpol akan sulit dibatasi. Dalam setiap pemilu akan lahir parpol baru, yang hendak mengadu nasib. Asal memenuhi criteria hokum, setiap parpol berhak mengikuti pemilu. Bila dalam Pemilu 2004 terdapat 24 parpol yang mengikutinya, untuk Pemilu 2009,  terdapat 38 parpol yang bertarung memperebutkan kursi DPR yang hanya bertambah 10 dari sebelumnya sebanyak 550. Bisa diduga bahwa harga kursi akan semakin mahal, dan makin keras pula tingkat persaingan untuk menjadi anggota legislative di pusat. Sementara di daerah, juga tidak akan kalah tingkat pertarungannya. Bahkan untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selain parpol nasional, juga telah lahir 6 (enam) parpol local, yang juga diperkenankan untuk mengikuti pemilu 2009 dalam memilih anggota legislative daerah (DPRD I dan II).

Ketiga, kepentingan ideology kurang menjadi pertimbangan utama parpol dalam setiap kontes politik. Demi menjaga survivality, kepentingan ideal tersebut telah digantikan oleh pertimbangan-pertimbangan strategis jangka pendek, yakni memenangkan kontes politik. Ditambah lagi dengan lemahnya sumber dana partai, di satu pihak, dan besarnya keperluan finansial untuk mengikuti sebuah proses pemilu, di lain pihak, telah menjadikan pertimbangan pragmatis itu sebagai pilihan utama paprpol dalam mempertahankan keberadaannya. Tidak terlalu mengherankan bila belakangan, factor uang menjadi benang merah dari dinamika kehidupan parpol, selain kekuasaan itu sendiri. Sebagai akibatnya, bila kemampuan untuk mengendalikan pengaruh uang dalam politik ini lemah, maka fungsi partai telah digeser, dari fungsi idealnya sebagai penghubung (interest intermediation) antara rakyat dengan Negara menjadi sarana pengumpul suara dan dana. Bila kedua variable terakhir itu menjadi tujuan partai, maka makin sulit saja berharap bahwa parpol harus menjadi lembaga demokrasi yang paling diandalkan. Alih-alih reformasi yang kita jalankan dalam sepuluh tahun terakhir ini memberikan manfaat kepada perbaikan bangsa dan Negara, yang terjadi kemudian adalah makin tingginya tingkat persaingan di antara actor-aktor politik di dalam mempertahankan keberadaannya serta dalam memenangkan pemilihan umum. Tanpa menghiraukan nasib rakyat secara keseluruhan, formalism demokrasi menjadi taruhan actor politik tersebut. Pada gilirannya, relasi positif antara demokrasi dengan perbaikan kesejahteraan warga, kian menjauh.

Barangkali kecenderungan semacam itulah yang sejak awal mula diperingatkan Samuel Huntington. Penulis ini menekankan bahwa dalam sejarah perkembangan demokrasi, dari Gelombang Pertama (1828-1926) sampai Gelombang Kedua yang berlangsung singkat (1943-1962) diantarai oleh pengingkaran (reverse) yang pertama (1922-1942). Kemudian perkembangan dari Gelombang Kedua menuju Ketiga (1974 dan seterusnya), juga pernah dihadapkan pada pengingkaran kedua yang terjadi pada 1958-1975. Dalam konteks Indonesia mutakhir, pengingkaran itu bukan sebuah peringatan dini yang mengada-ada. Baik pada tingkat nasional maupun local, potensi terhadap pengingkaran demokrasi tersebut masih tetap terbuka. Atas nama agama, suku, berbagai bentuk ketidak adilan dan bahkan demokrasi itu sendiri, para actor politik dapat memobilisasi pendukungnya untuk kemudian menciptakan kekerasan massa yang mengancam bukan hanya demokratisasi, melainkan juga integritas dan integrasi NKRI.

Dengan mengikuti logika pengingkaran di atas, maka tidak mustahil bahwa perjalanan menuju demokrasi di Indonesia pun akan menghadapi suasana yang mengganggu ketahanan nasional. Namun, jika sejumlah usulan berikut diperhatikan para actor politik, maka pesimisme di atas akan segera digantikan oleh optimisme:

Pertama, hadirnya pemimpin yang cukup kuat dan memiliki otonomi relative (tidak mutlak) untuk menggerakan perubahan dan perbaikan. Dalam bahasa yang klise, kita memerlukan sosok negarawan lebih banyak ketimbang politisi. Tanpa kehadiran pimpinan yang berjiwa demikian, maka segala macam kesulitan yang kita hadapi akan tetap menjadi masalah. Persoalan solusi akan tetap menjadi wacana yang tidak pernah didekati secara empirik. Seorang pemimpin yang berjiwa kenegarawanan akan lebih mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Kedua, konsolidasi demokrasi lewat pelembagaan partai-partai politik dan lembaga demokrasi lainnya. Kita semua bersepakat untuk memberikan kedaulatan kepada pemilik utamanya, yakni rakyat. Lewat partai politik, rakyat diminta untuk menyalurkan kepentingan dan hak-hak politik mereka. Dalam masyarakat yang tingkat demokrasinya telah matang, keberadaan partai sebagai alat interest intermediation – penghubung antara rakyat dengan Negara – telah dijalankan dengan baik. Teori ini mengandaikan bahwa partai sungguh-sungguh memiliki legitimasi untuk mewujudkan kepentingan rakyat. Dengan demikian, siapa pun yang memperoleh kemenangan dalam pemilu, dianggap memenangkan kehendak rakyat. Suasana percaya (trust) terhadap partai politik telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses demokrasi di Negara-negara demokrasi tersebut. Dengan kata lain, membesarkan partai politik dan menjadikannya sebagai lembaga demokrasi yang legitimate merupakan sebuah kejarusan.

Ketiga, peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata di seluruh Indonesia. Makna kesejahteraan di sini harus ditafsirkan secara luas, bukan hanya aspek ekonomi semata. Pelayanan public yang memadai, keadilan social dan politik, penegakan hokum yang konsisten, penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) akan semakin memperkuat ke Indonesiaan (Indonesianness) serta rasa kebangsaan (Nationness) seluruh warga Negara Indonesia di mana pun mereka berada. Memang, urbanisasi dan liberalisasi media massa – yang menjadi elemen demokrasi – telah bias kita rasakan. Namun bila demokratisasi yang berkembang sekarang tetap tidak bergerak kea rah demokrasi sejati, akan berdampak kurang produktif bagi keamanan warga dan integritas wilayah kita. Urbanisasi tanpa disertai perencanaan dan pemerataan pembangunan antar wilayah, hanya akan melahirkan kesenjangan social dan regional. Liberalisasi media massa yang tidak didukung oleh adanya peningkatan kesejahteraan social juga akan melahirkan eksploitasi kebebasan, yang pada gilirannya akan merugikan harmoni social dan persatuan nasional.

Dengan demikian, berbeda dengan apa yang secara retorik diucapkan, praktek demokrasi di negara kita tidaklah berjalan mulus. Pada mulanya banyak yang bersuka cita untuk menjadikannya sebagai sebuah system alternatif atas penyelenggaraan negara yang otoriter di masa lalu, namun belakangan tidak sedikit yang menyangkalnya. Bahkan banyak pula yang bernostalgia dengan masa lalu, dengan mengatakan bahwa reformasi tidak membawa manfaat, justru sebaliknya, reformasi telah membawa bangsa Indonesia ke lembah pertikaian yang berkepanjangan, individualistic, mengabaikan nasionalisme dan integrasi nasional, serta melupakan ideology politik yang sesuai dengan cita-cita bangsa.

Terlepas dari benar atau tidaknya gugatan di atas, yang pasti adalah bahwa setelah sekian tahun reformasi ini digulirkan, arah menuju demokrasi masih belum terlihat secara jelas. Apalagi bila dikaitkan dengan sejumlah factor yang harus mendukungnya, nampaknya proses transisi menuju demokrasi ini berlangsung kian terjal, penuh onak dan duri.

Ini tidak berarti bahwa penulis pesimis dengan masa depan demokrasi di Indonesia, tapi seperti yang dikatakan Huntington, apa yang disebut sebagai pengingkaran (reverse) pasti di alami oleh masyarakat mana pun, tak terkecuali Indonesia. Jika demokrasi mempersyaratkan sejumlah unsure yang disebutkan di awal tulisan ini, maka penulis agak yakin, bahwa transisi ini memang masih panjang. Lupakan dengan soal basis social dan budaya demokrasi, tapi yang lebih terukur pun masih belum terwujud di sini. Beberapa di antaranya adalah: tingkat pendidikan masyarakat, urbanisasi, pembangunan media massa, penghargaan terhadap hokum, serta lunturnya politik identitas dan berbagai ekstrimisme, masih mewarnai proses perubahan di Indonesia. Semuanya seringkali melahirkan berbagai kekerasan politik.
 Dengan kata lain, jika para pemimpin dan aktor politik kita sangat berempati terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi, maka keseluruhan unsure di atas yang harus dipikirkan, dan dijadikan platform politik jangka panjang. Jangan seperti sekarang, semuanya lebih tertarik pada peristiwa politik jangka pendek, dan kepentingan kelompok yang lebih sempit. Akhirnya, yang terjadi adalah, setiap pemimpin senantiasa ingin membuat sejarahnya sendiri. Pemimpin baru selalu diikuti dengan kebijakan baru. Semuanya dimulai dari titik ‘nol’, hanya karena enggan dituduh melakukan “reinventing the wheel” (meneruskan pemimpin terdahulu). Semoga para pemimpin mulai menyadari makna ke Indonesiaan, ketimbang arti kepemimpinannya secara personal. Tanpa kesadaran semacam itu, demokrasi hanya akan menonjolkan kebebasan ketimbang kebersamaan. Manakala kebebasan diterjemahkan dalam konteks kekinian, akan mengundang banyak persoalan baru di bidang keamanan, termasuk di dalamnya penggunaan segala cara untuk mencapai tujuan. Janji Presiden SBY untuk lebih mengedepankan kesejahteraan (prosperity), demokrasi dan keadilan (justice), sebagaimana diucapkan pada pidato pelantikannya, 20 Oktober 2009, akan sangat membesarkan hati bila segera dirumuskan dalam program aksinya. Jika tidak mau untuk lebih decisive di dalam membawa pemerintahanannya, niscaya Presiden SBY tidak akan meninggalkan nama baiknya. Ingat pepatah lama “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan nama baiknya” Bila spirit pembangunan yang “pro growth, pro job, pro poor” sungguh-sungguh diwujudkan, saya yakin, masa kepresidenan SBY akan dikanang sepanjang masa. Bisa jadi, darinya Indonesia akan mengalami titik balik dalam mewujudkan pembangunan yang berkeadilan. Negara kuat – dalam arti birokratnya beretika dan berintegritas - dan rakyat pun tidak diperlemah – tidak tergantung pada negara. (Strong state, strong society). Semoga.
*Disampaikan oleh Indria Samego pada Silaknas ICMI Desember 2012 di Jakarta

[1] Analisis lebih rinci mengenai hal ini, lihat bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press, 1993, khususnya Chapter 5.
[2] Clifford May sebagaimana dikutip oleh Arend Lijphart, Patterns of Democracy, New Haven and London: Yale University Press, 1999, hlm. 1.
[3] Samuel Huntington, ibid, hlm. 6.
[4] Diadaptasi dari Huntington, hlm 37-38. Pengertian di adaptasi ini diartikan sebagai pilihan penulis (Indria Samego) terhadap sejumlah variabel yang ditawarkan Huntington, tapi ada di antaranya yang perlu diperdebatkan lebih lanjut, misalnya perlunya nilai-nilai Protestantism dan aristokrasi sebagai syarat demokrasi.
[5] Georg Sorensen, Democracy and Democratization, Boulder: Westview Press, 1993, hlm. 1.
[6] Francis Fukuyama, “The End of History?” The National Interest, no. 16 (1989), hlm. 4.
[7] David Held , Models of Democracy, Cambridge: Polity Press, 1987, hlm. 271.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar